Jakarta, 24/01/2023 – kabaripost

Indonesia termasuk negara yang rentan terdampak perubahan iklim, ditandai dengan kenaikan tren emisi GRK nasional sekitar 4,3% per tahun (KLHK, 2020); Tren kenaikan suhu sekitar 0,03 °C per tahun (BMKG, 2020); dan kenaikan permukaan laut 0,8-1,2 cm/tahun, sementara sekitar 65% penduduk tinggal di wilayah pesisir.

Resiko yang ditimbulkan dari perubahan iklim tersebut, antara lain: a) kelangkaan air; b) kerusakan ekosistem lahan; c) kerusakan ekosistem lautan; d) penurunan kualitas kesehatan; dan e) kelangkaan pangan.

Jika hal tersebut tidak di mitigasi, maka yang terjadi adalah: a) Perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi; dan b) Potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66% s.d. 3,45% dari total PDB serta pada tahun 2030, Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim (Roadmap NDC Adaptasi, 2020)

Untuk memitigasi hal tersebut, pemerintah Indonesia melaksanakan komitmen – komitmen global dalam penanganan perubahan iklim, seperti protokol Kyoto (1987), Bali Roadmap (2007), Copenhagen Accord (2009), Paris Agreement (2015), Katowice Climate Package (2019) dan Glasgow Pacts (2021). Konsekuensi dari kesepakatan tersebut adalah pemenuhan target penurunan emisi dan konsekuensi pembiayaan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim.

Indonesia berkomitmen untuk menurunkan laju emisi sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan hingga 41% dengan dukungan pendanaan internasional dan telah ditingkatkan melalui dokumen Enhanced NDC (2022).

Estimasi Biaya Mitigasi Perubahan Iklim hingga tahun 2030, mencapai Rp 4.002,43 triliun, dan kebutuhan pembiayaan terbesar berasal dari sektor Energi dan transportasi sebesar Rp 3.500 Triliun.

Sumber pembiayaan terdiri dari berbagai sumber domestik maupun internasional. Sumber Pembiayaan Domestik: 1) APBN (Belanja APBN, Pajak Karbon, TKDD, Pembiayaan (Green Sukuk, Blue Sukuk, SDGs Bond & Blue Bond); 2) Non APBN (Investasi Swasta and CSR, Perdagangan Karbon, Sektor Jasa Keuangan [Bank and Non Bank], Pasar Modal, Philanthropy dan BUMN). Sumber Pembiayaan Internasional: 1) Bilateral (Pemerintah & Swasta); 2) Multilateral (Green Climate Fund, Global Environment Facility, Adaptation Fund, MDBs, IFIs).

Salah satu inovasi kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah berupa kebijakan Nilai Ekonomi Karbon/ NEK (Carbon Pricing), termasuk dari karbon biru (blue carbon).NEK merupakan valuasi atas emisi/ kandungan/potensi emisi GRK dan bentuk intervensi market failure dengan memanfaatkan kekuatan pasar.

Opsi kebijakan ini penting karena: a) Mendorong internalisasi biaya eksternalitas negatif; b) Menerapkan “polluters-pay principle” sebagai perwujudan keadilan iklim; c) Peluang penerimaan negara dan mengatasi celah pembiayaan; serta (d) Mendorong pembangunan berkelanjutan.

Ekosistem pesisir merupakan salah satu potensi penyerap karbon yang tidak kalah besar dibanding ekosistem hutan. Ekosistem pesisir tersebut adalah hutan mangrove dan padang lamun yang mampu menyerap karbon dari atmosfer dan lautan.

Karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir dikenal sebagai Blue Carbon dan ekosistemnya disebut sebagai Ekosistem Karbon Biru (Blue Carbon Ecosystems). KKP (2022) memperkirakan bahwa total potensi penyerapan karbon pada ekosistem pesisir di Indonesia mencapai 3,4 GT (giga ton) atau sekitar 17% dari total karbon biru dunia.

Sedangkan studi Wahyudi, eI.al (2018) memprediksi potensi penyerapan karbon di atas permukaan untuk ekosistem mangrove adalah 320,06 ton C/ha dan karbon terpendam sebesar 571,84 ton C/ha. Sedangkan untuk ekosistem lamun, studi yang sama memperkirakan serapan karbon permukaan sebesar 0,94 ton C/ha dan karbon terpendam sebesar 558,35 ton C/ha. Berdasarkan hal tersebut, Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) No.98 Tahun 2021, mengamanatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melaksanakan mitigasi perubahan iklim sektor kelautan (blue carbon).

Dalam kebijakan terbaru terkait kebijakan perubahan iklim, sektor karbon biru (kelautan) belum termasuk dalam dokumen Enhanced NDC (National Determined Contribution) yang dikeluarkan pada tahun 2022. Padahal sektor kelautan memiliki potensi besar dalam baik dalam konteks adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim.

Perlu proses panjang untuk memasukkan sektor ini ke dalam dokumen next NDC. Dalam rangka menyatukan visi dan misi terkait peningkaian kontribusi Indonesia dalam kebijakan perubahan iklim dunia dari sektor kelautan, maka diperlukan sebuah kegiatan yang mampu menarik perhatian dan komitmen seiuruh pemangku kepentingan kelautan dalam konteks perubahan iklim.

Untuk itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI bekerja sama dengan UNDP Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB University bermaksud menyelenggarakan Workshop Strategi Blue Carbon Indonesia untuk Pencapaian Target Nationally Determined Contibutions (NDC) dan Implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK), selanjutnya disebut dengan Workshop Blue Carbon Indonesia. (red)

By admin