Jakarta, 24 April 2025. Kebijakan transisi energi di Indonesia masih dinilai kurang ambisius. Pasalnya sejumlah solusi palsu masuk ke dalam skema transisi energi seperti penggunaan teknologi CCS/ CCUS, bioenergi dari pemanfaatan kelapa sawit, serta masuknya gas dan nuklir. Oleh karena itu, Greenpeace dan CELIOS meluncurkan sebuah laporan yang menyoroti penggunaan gas fosil sebagai energi transisi yang justru akan menghambat upaya transisi energi di Indonesia.
Dalam laporan tersebut, Greenpeace dan CELIOS menyampaikan beberapa temuan, diantaranya kerugian output ekonomi dari pengembangan gas fosil, penurunan serapan tenaga kerja, dampak kesehatan dan lingkungan, serta potensi peningkatan emisi.
“Dari segi dampak kesehatan, pembangkit gas fosil dengan skenario 22 GW memberikan beban biaya kesehatan hingga Rp89,8 – Rp249,8 triliun dalam 15 tahun kedepan”, ucap Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia. “Selain itu, ekspansi pembangkit gas fosil dalam skenario 22 GW akan mengakibatkan lonjakan emisi CO2 hingga 49,02 juta ton per tahun, dan emisi Metana (CH4) hingga 43.768 ton per tahun”, tambahnya.
Dari sisi ekonomi angkanya juga tak kalah fantastis. “Pembangkit gas fosil justru akan menurunkan output ekonomi sebesar Rp941,4 triliun secara akumulatif hingga 2040, sementara PLTG siklus gabungan akan menurunkan output hingga Rp280,9 triliun”, terang Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS. “Dari sisi serapan tenaga kerja, pembangkit turbin gas berisiko menurunkan serapan tenaga kerja hingga 6,7 juta orang, angka ini mempertimbangkan gangguan pada pendapatan masyarakat di sektor terdampak seperti sektor kelautan dan perikanan. Dampak kesehatan yang ditimbulkan dari pembangkit gas fosil dengan skenario 22 GW memberikan beban hingga Rp89,8 – Rp249,8 triliun dalam 15 tahun kedepan.”, tambahnya.
Sementara menurut perhitungan CELIOS, jika Indonesia fokus dan beralih pada pengembangan energi terbarukan justru akan berkontribusi positif terhadap perekonomian sebesar Rp2.627 triliun pada 2040. Jumlah serapan tenaga kerja bila pembangkit terbarukan skala komunitas dikembangkan secara masif bisa mencapai 20 juta orang pada 2040.
Pada pidato Presiden Prabowo di KTT G20 November 2024 lalu di Brasil, beliau menyerukan pentingnya aksi kolektif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Dalam pidatonya ia menegaskan Indonesia memiliki agenda transisi energi hijau untuk mencapai nol emisi 2050 dengan penggunaan biodiesel dan menutup PLTU, kemudian beralih ke sumber energi baru terbarukan.
Sayangnya, pidato tersebut tak lebih dari sekedar menjual janji. Komitmen pemerintah dalam upaya transisi energi bertolak belakang dengan kebijakan energi yang disampaikan oleh Pemerintah dengan rencana untuk menjadikan gas fosil sebagai “energi transisi” dan merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Gas Fossil baru dalam jumlah besar, seperti yang tercantum pada Accelarated Renewable Energy Development (ARED) yang akan dituangkan pada RUPTL selanjutnya. Pemerintah juga memprioritaskan pendanaan dari Danantara bagi pengembangan migas daripada energi terbarukan.
Laporan ini menekankan bahwa solusi-solusi yang ditawarkan pada kebijakan energi pemerintah seharusnya bukan solusi palsu yang hanya akan memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap penggunaan energi fosil. Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari laporan ini, diantaranya adalah pemerintah harus membatalkan rencana penambahan pembangkit gas fosil baru dari dalam RUPTL 2025-2034 yang akan datang, membuat Peta Jalan Pemensiunan Pembangkit Listrik dari gas fosil dan bahan bakar fosil lainnya, serta mempercepat transformasi ekonomi melalui fokus pada energi terbarukan, khususnya energi surya dan angin, bukan pembangkit gas fosil.