Jakarta – kabaripost
Ketidak berpihakan hakim dalam menegakkan hukum adalah prinsip mendasar yang semestinya memberikan keadilan pada pihak yang benar dan berhak. Satu dekade telah berlalu sejak Ike Farida tak kunjung mendapatkan haknya sebagai konsumen akibat pengembang tak bertanggungjawab bernama PT Elite Prima Hutama (PT EPH), anak perusahaan dari Pakuwon Jati Tbk Group. Kasus berawal dari PT EPH yang enggan melaksanakan kewajibannya untuk menyerahkan unit apartemen yang telah dibeli oleh Ike di Tower Avalon Apartemen Casa Grande Kota Kasablanka, Jakarta Selatan. Terhitung sejak 30 Mei 2012, Ike telah melunasi unit apartemen tersebut, namun sejak itu pula PT EPH tak menyerahkan hak Ike. Seakan tidak cukup, hakim yang sudah semestinya melindungi korban dengan menegakkan hukum seadil-adilnya, justru terkesan memihak pengembang dengan tidak menjalankan eksekusi Putusan No. 53PK/PDT/2021 sesuai prosedur atas permohonan eksekusi yang dimohonkan sehingga Ike sangat dirugikan dalam kasus ini.
DUGAAN PELANGGARAN KODE ETIK Keputusasaan yang dialami Ike pun bukan semata-mata tanpa dasar. Pasalnya, Ike telah memenangkan 4 putusan final terhadap PT EPH: putusan dari Mahkamah Konstitusi, Putusan MA RI kasus konsinyasi, putusan PK dari MA RI, dan Putusan Perlawanan di PN Jakarta Selatan (PN Jaksel). Seluruh putusan itu merupakan perintah lantang kepada PT EPH untuk menyerahkan unit apartemen hak milik Ike beserta dengan pembuatan AJB dan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS). Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Harapan tersebut kemudian melesat jatuh karena PN Jaksel menganggap hal ini layaknya angin lalu. Eksekusi tak kunjung dilaksanakan oleh PN Jaksel, melarut-larutkannya dalam waktu dan alasan yang tak pasti.
PN Jaksel tidak kunjung mengindahkan permintaan pelaksanaan eksekusi. Putusan PN Jaksel No. 119/Pdt.Bth/2022/PN.Jkt.Sel tanggal 3 Agustus 2022 menyatakan bahwa PT EPH ADALAH PELAWAN YANG TIDAK BENAR DAN SELURUH DALILNYA DITOLAK OLEH MAJELIS HAKIM. Menindaklanjuti hal tersebut, pada tanggal 1 September 2022 telah diberikan hasil perundingan penyelesaian di luar pengadilan yang menyatakan bahwa sita eksekusi dapat kembali dilanjutkan. Namun pada tanggal 12 September 2022, Ketua PN Jaksel menolak pelaksanaan eksekusi tersebut. Pengadilan meragukan keabsahan surat kuasa dari Ike akibat informasi yang belum jelas kebenaraannya dan yang tak semestinya mereka dapatkan. Tidak seperti alasan Ike yang jelas dan berdasar, alasan yang dikemukakan PN Jaksel tidak memiliki dasar yang jelas. Maka, dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua PN Jaksel menjadi hal yang sepatutnya muncul ke permukaan karena akumulasi dari alasan- alasan tersebut.
Saat ini pun, Ike dilaporkan sebagai tersangka oleh pihak pengembang. Atas pengkriminalisasi korban mafia tanah ini, Dirjen HAM Dr. Mualimin Abdi kemudian melayangkan surat kepada Pol. Fadil Imran selaku Kapolda Metro Jaya dan merekomendasikan agar menghentikan penyidikan laporan PT EPH yang menuduh Ike telah melakukan pemalsuan novum. Bisa disimpulkan bahwa seluruh dalil dari Grup PT Pakuwon Jati/PT EPH adalah tidak benar. Belum lagi fakta bahwa Ike bersuami seorang WNA yang berkali-kali disorot dan dijadikan dasar untuk penumbangan korban. Penyorotan informasi ini sungguh bersifat diskriminatif. Hak tidak dipenuhi, keadilan tidak ditegakkan, dan sekarang, dijerumuskan semakin dalam ke dalam kekangan hukum. Rentetan ketidakadilan ini tidak semestinya terjadi, alih-alih dibiarkan semakin meluas.
Asas proporsionalitas bukanlah jargon tanpa makna. Tidak seharusnya kita meragukan ketidakberpihakan para penegak hukum dalam kondisi yang ideal. Ketika hakim yang diduga lebih memihak kepada pihak pengembang yang menunda-nunda pelaksanaan eksekusi, hal ini semakin menegaskan bahwa terdapat dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim. Kekecewaan masyarakat kecil terhadap sistem yang tidak membela mereka adalah urgensi yang wajib untuk didengarkan, bukan untuk diabaikan begitu saja. Karena itu, sudah saatnya PN Jaksel berhenti mengulur waktu untuk alasan tak jelas dan segera melaksanakan eksekusi terhadap unit apartemen yang menjadi hak Ike.
(Red)