Bogor Kab – kabaripost

Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) kembali diperingati. Ketua Umum AIPBR, Aliv Simanjuntak S.IP, menyerukan agar peringatan ini tidak berhenti sebagai seremoni tahunan. Seruan itu datang di saat yang tepat, ketika APBD Kabupaten Bogor setiap tahun bernilai triliunan rupiah, dan pengelolaannya terus menjadi sorotan publik, Senin (08/12/2025)

Anggaran sebesar itu tidak pernah steril dari godaan. Justru di situlah korupsi menemukan ekosistemnya: di sepanjang jalur pengadaan barang dan jasa, serta perjalanan dinas. Dua pos ini bukan hanya terbesar, tetapi juga paling lentur dimanipulasi secara administratif.

Secara sistem, publik diperkenalkan dengan SiRUP sebagai wajah transparansi pengadaan. Hampir seluruh OPD patuh mengunggah paket-paket belanja. Namun dalam praktiknya, SiRUP terlalu sering berhenti sebagai formalitas digital, sekadar mematuhi aturan, tanpa membuka substansi ke publik.

Paket-paket muncul saat waktu sudah sempit, spesifikasi sudah mengunci arah, dan nilai sudah terasa “pas di angka tertentu”. Masyarakat melihat daftar, tetapi tidak memiliki daya untuk mengontrol proses. SiRUP terbuka, proses tetap tertutup.

Ironisnya, setiap tahun BPK secara rutin mencatat temuan dalam pengelolaan keuangan daerah. Polanya berulang:

‌kelebihan bayar,

‌pekerjaan tidak sesuai spesifikasi,

‌kekurangan volume,

‌hingga pertanggungjawaban perjalanan dinas yang tidak memadai.

Temuan-temuan ini muncul bukan sekali dua kali, melainkan menjadi siklus tahunan dalam LHP BPK.

Namun pertanyaan paling mendasar:

‌berapa banyak temuan itu yang benar-benar berubah menjadi pemulihan kerugian dan proses hukum?

‌Berapa yang selesai hanya di meja rekomendasi?

Dalam banyak kasus, temuan BPK berakhir dengan kata “tindak lanjut administratif”. Uang memang dikembalikan, tetapi pola tidak pernah dibongkar, aktor tidak pernah disentuh, dan jaringan tidak pernah diputus. BPK menemukan, sistem memaafkan, publik dilupakan.

Pos perjalanan dinas kembali menjadi ironi yang paling sering muncul. Tahun demi tahun temuan soal bukti tidak lengkap, perjalanan tidak relevan, hingga keberangkatan yang sulit dilacak manfaatnya selalu berulang. Tetapi anehnya, pos ini hampir selalu “aman” dalam pembahasan anggaran berikutnya.

Sementara itu, DPRD Kabupaten Bogor yang seharusnya menjadi benteng pengawasan justru lebih sering tampil dalam fungsi pengesahan. APBD diketok, perubahan diketok, pertanggungjawaban diketok. Pengawasan berubah menjadi ritual politik, bukan fungsi kontrol kekuasaan.

Jika BPK sudah mencatat temuan, DPRD seharusnya menjadikannya senjata pengawasan, bukan arsip lima tahunan. Namun yang terlihat, temuan mengendap, lalu tenggelam dalam siklus anggaran berikutnya.

Inspektorat dan APIP berada di posisi paling strategis sekaligus paling menentukan. Mereka adalah aparat pengawas internal. Mereka berada di dalam sistem. Mereka mengetahui dapur anggaran. Tetapi publik belum melihat Inspektorat benar-benar menjadi institusi yang ditakuti oleh pelaku penyimpangan

Selama hasil pengawasan hanya berhenti di rekomendasi, selama pelanggaran hanya dijawab dengan pembinaan, maka pesan yang sampai ke birokrasi sangat sederhana: menyimpang itu boleh, asal rapi.

Dalam konteks inilah Hakordia menjadi cermin yang menyakitkan. Di satu sisi kita berbicara integritas, di sisi lain temuan BPK terus berulang. Di satu sisi kita bicara transparansi, di sisi lain SiRUP hanya menjadi panggung formalitas. Di satu sisi kita bicara efisiensi, di sisi lain perjalanan dinas terus mengalir tanpa audit manfaat yang serius.

Apa arti Hakordia jika pengadaan tetap menjadi proyek langganan, vendor tetap itu-itu saja, dan temuan tetap dianggap sebatas kewajiban laporan?

Apa makna antikorupsi jika Inspektorat lebih rajin membina daripada menindak, DPRD lebih sigap mengesahkan daripada mengawasi, dan APIP lebih sibuk menjaga stabilitas ketimbang membongkar penyimpangan?

Seruan AIPBR sejatinya harus dibaca sebagai peringatan keras bagi seluruh pemegang kekuasaan anggaran di Kabupaten Bogor. Hakordia bukan festival kata-kata, tetapi momentum untuk membuka satu per satu praktik yang selama ini dianggap “normal”.

Jika temuan BPK terus muncul setiap tahun dengan pola yang sama, berarti masalahnya bukan pada kesalahan teknis, tetapi pada niat dan keberanian sistem untuk berubah.

Hari ini publik tidak lagi menunggu slogan antikorupsi. Publik menunggu: siapa yang ditindak dari temuan itu, siapa yang diberi sanksi, dan siapa yang dibuka ke hadapan rakyat.

Selama itu belum terjadi, maka Hakordia hanyalah tanggal merah moral, sementara korupsi tetap bekerja dari Senin sampai Jumat, dari rapat sampai perjalanan dinas, dari SiRUP sampai SPJ.

Dan selama APBD masih triliunan, sementara pengawas masih setengah berani, maka satu hal yang pasti: korupsi tidak sedang dilawan, melainkan sedang diatur agar tidak terlihat.

(Aliv Simanjuntak SI,P Ketum AIPBR )

By admin